Kamis, 19 Desember 2019

EKSISTENSI TARI TOPENG CIREBON PADA MASANYA

0 komentar

Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai perkembangan tari  topeng Cirebon dari masa wali songo. Berdasarkan sumber yang didapat dari Jurnal yang dituliskan oleh Lasmiyati dengan judul Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tari Topeng Cirebon Abad XV-XX memaparkan bahwa :
Tari Topeng Cirebon berasal dari kata “tup” atau tutup. Kemudian kata ini ditambah suku kata “eng” sehingga menjadi tupeng, yang kemudian berubah menjadi “topeng”. 

Menurut Prof. Vreede yang ditulis oleh Gaos Harja Somantri bahwa topeng berasal dari kata ping, peng, dan pung yang artinya melekat pada sesuatu dan ditekan rapat, asal yang sama juga dapat ditemukan dalam kata tepung, taping, damping. Kata lain arti topeng adalah kedok yang artinya dikenakan akan lengket dan yang memakainya menjadi pangling. (Somantri, 1978/1979: 1). Tari Topeng merupakan tari tradisional rakyat Cirebon. Tarian ini ditampilkan dengan mengenakan topeng. Jenis tarian ini bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Kisahnya berkisar dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Pada abad ke-12 hingga ke-15, Tari Topeng pernah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, Tari Topeng mengalami kemunduran. Tari Topeng kemudian muncul lagi seiring dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam. Lakon yang dibawakannya seputar cerita Panji, dan sejak saat itulah bernama Wayang Topeng (Ensiklopedi Nasional, 1991: 16). Pengertian dari Tari Topeng itu sendiri adalah suatu pertunjukan tari yang para penarinya mengenakan topeng, yaitu penutup kepala berupa sobrah atau tekes yang terbuat dari rambut. Pertunjukannya biasanya membawakan cerita Panji dengan diselingi bodoran. 

Dalam Babad Cirebon Carang Satus yang ditulis oleh Elang Yusuf Dendrabrata disebutkan bahwa pertama kali topeng Cirebon diciptakan dalam rangka penyebaran agama Islam (Kartika, 1999: 12). Ketika itu di Krawang ada seorang yang memiliki kesaktian karena mempunyai pusaka Curug Sewu, orang tersebut bernama Pangeran Welang. Dengan kesaktiannya, ia ingin mengalahkan Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana di Keraton Cirebon. Sunan Gunung Jati menanggapi ancaman Pangeran Welang tidak dengan peperangan, melainkan dengan diplomasi kesenian. Ia membentuk kelompok kesenian dengan melakukan pertunjukan keliling dari satu daerah ke daerah lainnya. Di dalam kelompok kesenian tersebut Sunan Gunung Jati menampilkan sang primadona Nyi Mas Gandasari, yang berperan sebagai penari dengan wajah menggunakan kedok (tutup muka). Adanya pertunjukan keliling tersebut terdengar pula oleh Pangeran Welang, ia menyaksikan kesenian tersebut. Melihat penampilan sang primadona, Pangeran Welang terpikat oleh kecantikan Nyi Mas Gandasari, ia pun meminangnya untuk dijadikan istri. Nyi Mas Gandasari menerima lamaran tersebut dengan syarat dilamar dengan pusaka Curug Sewu. Pangeran Welang menerima tawaran Nyi Mas Gandasari sambil menyerahkan pusaka Curug Sewu. Dengan diserahkan pusaka Curug Sewu tersebut kesaktian Pangeran Welang pun hilang, ia menyerah kepada Sunan Gunung Jati dan masuk Islam. Sunan Gunung Jati yang telah berhasil mengislamkan Pangeran Welang melalui pagelaran Tari Topeng tersebut, Tari Topeng kemudian menjadi jenis kesenian yang disukai masyarakat dan menjadi pementasan hiburan di Cirebon. Bahkan dalam pertunjukan Wayang Kulit pun, Tari Topeng masuk di dalamnya.

Sehingga Tari Topeng tumbuh subur dan diterima di kalangan masyarakat. Semenjak Cirebon menjadi daerah penyebaran agama Islam, halhal yang berkaitan dengan seni dijadikan sebagai media dakwah termasuk Tari Topeng, penari topeng diharuskan berbusana menutup aurat, misalnya baju yang dikenakan harus menutupi dada dan punggung, para penari juga menutupi kakinya dengan kaos kaki hingga lutut. Bahkan gerakan tari pun disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Hal-hal yang diajarkan dalam seni topeng mengandung unsur filosofi yaitu tingkatan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Kartika, 1999: 13). Dalam Babad Cirebon juga disebutkan bahwa pada tahun 1485 Topeng Cirebon sudah mulai dipentaskan sebagai media dakwah dalam menyebarkan agama Islam. Pementasan waktu itu menceriterakan cerita Panji yang mengisahkan tentang Kerajaan Daha dan Kediri. Pertunjukan Kesenian Cirebon dalam penyebaran agama Islam, diperagakan dengan cara menyisipkan simbol, seperti pakeliran Wayang Kulit sebagai tuntunan sareat, Reog sebagai tuntunan tarekat, barongan sebagai tuntunan hakekat, Topeng sebagai tuntunan makrifat. Dalam pementasan Tari Topeng dibawakan oleh seorang dalang, dimainkan pada siang hingga malam hari. Pada awalnya pertunjukan Tari Topeng dipagelarkan di halaman rumah atau lapangan, belum dikenal panggung pementasan kesenian. Pada waktu pementasan diselingi bodoran dan lakonlakon khusus, yang diiringi gamelan praya.

Pada masa Pemerintahan Sunan Gunung Jati, Tari Topeng pernah berjaya dan dapat merebut simpati masyarakat,. Antusiasme masyarakat Cirebon sangat tinggi terhadap Kesenian Topeng, ketika topeng Cirebon dipentaskan, penonton tidak beranjak apabila pertunjukan belum selesai. Pertunjukan Topeng pada waktu itu tidak sebatas kedok Panji, Parmindo, Rumyang, Klana, Tumenggung dan Jianggaanom, namun pertunjukan disempurnakan dengan menambah kedok dari beberapa wayang kulit. Sajian yang ditampilkan diambil dari cerita drama Mahabarata dan Ramayana, sehingga 2. Perkembangan Tari Topeng Sunan Gunung Jati berhasil menjadikan Tari Topeng Cirebon sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam, dan mengislamkan masyarakat Cirebon dan sekitarnya bahkan mengalahkan Pangeran Welang hingga masuk Islam. Di samping itu Sunan Gunung Jati berhasil menjadikan Tari Topeng sebagai kesenian Keraton Cirebon yang diterima masyarakat. Pada tahun 1568, Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Cirebon yang sekaligus sebagai penyebar agama Islam meninggal dunia dalam usia 120 tahun (Soemardjo, 1986: 96). Ia digantikan oleh Pangeran Emas, yang bergelar Panembahan Ratu. Sepeninggalnya Panembahan Ratu kemudian digantikan oleh Pangeran Seda ing Gayam yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Girilaya, semasa itu Cirebon menjalin hubungan baik dengan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Amangkurat I yang menjalin hubungan baik dengan Belanda. Dengan adanya hasutan Belanda, Sunan Amangkurat I memanggil Pangeran Seda Ing Gayam ke Mataram dengan alasan Pangeran Seda Ing Gayam telah menjalin hubungan baik dengan Banten. Pangeran Seda Ing Gayam pun datang memenuhi panggilan Sultan Amangkurat I dan tidak kembali lagi ke Cirebon selama 12 tahun yang pada akhirnya ia dikabarkan meninggal dunia di Mataram. Sepeninggalnya Pangeran Seda Ing Gayam di Mataram, putraputranya diangkat sebagai sultan di Cirebon. Memasuki tahun 1677 M, atas persetujuan sultan-sultan Cirebon dan Sultan Banten, keraton Cirebon dibagi menjadi dua, yaitu Sultan Samsudin Martawijaya menduduki Keraton Kasepuhan menjabat sebagai Sultan sejak saat itulah dikenal dengan nama topeng kecil dan topeng besar.

Begitulah singkat cerita perkembangan tari topeng Cirebon ini,  yang diharapkan adalah untuk generasi masa kini untuk selalu mengembangkan kesenian tradisional khas Cirebon ini terutama generasi-generasi muda masa kini untuk selalu mengembangkannya jangan meninggalkannya walaupun kita semua tahu bahwa perkembangan zaman makin maju dan modern tentu saja akan banyak sekali faktor penggeser berkembangnya kesenian tradisional menuju kesenian modern.

0 komentar:

Posting Komentar