Kamis, 19 Desember 2019

MACAM-MACAM KESENIAN DI CIREBON

0 komentar

Melanjutkan tulisan kemarin tentang kesenian yang ada di cirebon. Dan yang baru ditulis adalah kesenian tari topeng
2. Sintren
Tembang adalah salah satu kekayaan dalam sastra lisan Jawa. Melalui tembang, seseorang dapat mencurahkan isi hatinya dengan tujuan tertentu sehingga tembang tersebut menjadi fungsional untuk berkomunikasi. Kesenian tradisional sintren mempunyai tembang-tembang yang mengandung fungsi penting baik dalam kaitannya dengan pertunjukan itu sendiri maupun masyarakat penikmatnya.

Masalah yang diteliti adalah bagaimana struktur tembang-tembang tersebut, makna apa saja yang terkandung di dalamnya, dan untuk apa tembang tersebut dinyanyikan dalam pertunjukan sintren.

Tujuan dari penelitian ini adalah  memahami struktur pola tembang sintren, memahami makna-makna yang tersembunyi di balik lirik tembang sintren, dan mengetahui fungsi tembang sintren meliputi fungsi ritual, didaktis, protes sosial, dan hiburan bagi pertunjukan sintren sendiri dan masyarakat penikmatnya.

Dalam penelitian ini terdapat dua tahap analisis yaitu analisis teks tembang dan analisis fungsi tembang. Teks tembang dianalisis berdasarkan struktur atau ciri fisiknya. Kemudian dilakukan pembacaaan heuristik dan hermeneutik untuk menguak makna di balik teks tembang.

Dari paparan makna teks ini, diperoleh fungsi tembang yaitu ritual, didaktis, protes sosial, dan hiburan. Fungsi ritual berkaitan dengan pemanggilan roh gaib untuk masuk ke tubuh sintren dan bodor serta setelah selesai dikeluarkan kembali dari tubuh anak-anak tersebut. Fungsi didaktis dalam tembang ini ialah mengajak penikmat tembang untuk memandang hidup lebih bijaksana agar diperoleh keselarasan hidup. Fungsi protes sosial berisi imbauan agar tidak meremehkan kaum perempuan. Penyampaian ketiga fungsi tersebut adalah melalui aspek hiburan yang dikemas dalam satu pertunjukan yaitu pertunjukan sintren.

Kesenian sintren merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Cirebon. Kesenian ini memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan kesenian tradisional Cirebon lainnya. Unsur Magis merupakan keunikan dalam setiap pementasan sintren, dengan gadis yang masih suci sebagai penarinya. Penari sintren, menari dalam keadaan trance (tidak sadar), masyarakat Cirebon percaya saat itu si penari dimasuki roh halus. Semula kesenian ini hanya merupakan hiburan bagi para istri nelayan saat menunggu suami pulang dari mencari ikan. Selain itu kesenian ini ditampilkan pula dalam upacara-upacara adat masyarakat setempat seperti nebus weteng (saat usia kandungan mencapai tujuh bulan) dan nyadran (awal musim mencari ikan). Pada awal-awal kelahirannya kesenian ini ditampilkan dengan cara pebarang atau ngamen, dan unsur magis atau mistik dalam kesenian tersebut masih sangat kuat.Penelitian mengenai ritual magis di balik kesenian sintren ini, berupaya mengungkapkan bagaimana kesenian sintren tersebut. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui apakah sampai saat ini kesenian sintren masih menggunakan unsur magis, selain itu peneliti pun ingin mengetahui adakah perubahan-perubahan dalam kesenian sintren.

Sintren termasuk salah satu kesenian hiburan rakyat yang sejenis dengan kesenian debus, kuda lumping, gacle dan gopek kesenian debus, kuda lumping, gacle dan gopek (Soepandi, 1977: 55). Sintren salah satu jenis seni pertunjukan rakyat Jawa Barat yang banyak terdapat di daerah Pantura (pantai utara), terutama di wilayah Cirebon, Indramayu, Subang, dan Kuningan. Beberapa makna yang terdapat dibalik kesenian sintren, antara lain: Makna mistis, karena memiliki hubungan dengan perolehan magis simpatetik, yang tercermin lewat lagu-lagu yang dinyanyikan dengan menonton, sederhana dan mampu memberikan kekuatan tertentu sehingga dari kondisi terikat kuat sintren dapat lepas dan berpakaian dalam hitungan detik; Makna teatrikal, yang digambarkan dengan tampilnya pawang, sintren dan ranggap (kurungan) yang membuat adegan simultan. Penampilan sintren berganti-ganti rupa sejak saat diikat dan dimasukkan ke dalam kurungan, lalu keluar dan masuk lagi dalam kurungan. Ini merupakan adegan teatrikal yang menarik bagi siapapun yang melihatnya.  Pertunjukkan Sintren dipimpin oleh seorang pawang sebagai shaman atau dukun.

Penari sintren biasanya memakai kacamata hitam untuk menutupi mata (posisi biji mata) sewaktu trance. Dalam pertunjukan sintren biasanya digunakan kemenyan dan kurungan (Bahasa Sunda; ranggap) yang ditutupi kain hitam, supaya sintren tidak terlihat ketika berada di dalam kurungan tersebut. Permasalahan dewasa ini yang muncul diantaranya yaitu semakin langkanya pertunjukan tari sintren. Di daerah Jawa Barat hampir jarang ditemukan pertunjukan sintren secara umum, kalau pun ada hanya di beberapa daerah terpencil yang penontonnya pun hanya kalangan masyarakat sekitar. Padahal jika kita pikirkan, bahwa sesungguhnya kesenian sintren ini merupakan aset dan kekayaan daerah yang harus dilestarikan keberadaannya. Pertunjukan semacam sulap yang menghadirkan pemainnya dalam kondisi terikat dan dimasukan kedalam kurungan tertutup ini mungkin saja sebenarnya berasal dari kesenian sintren masa lalu yang dikembangkan dengan kemasan lain.  Ketika peneliti mengadakan survei ke beberapa tempat, akhirnya peneliti menemukan suatu wilayah yang masih sering menyelenggarakan pertunjukan sintren yaitu Desa Dukuhbadag Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Di desa ini pertunjukan sintren dipimpin oleh Bapak D.U. Sahrudin. Pertunjukan sintren di desa ini sering diadakan ketika ada acara syukuran pernikahan atau sunatan. Selain itu juga dalam acara memperingati hari-hari besar sering dihadirkan pertunjukan sintren ini. Setiap ada pertunjukan sintren, antusias masyarakat cukup tinggi. Mungkin karena pertunjukan sintren mulai jarang dan menjadi sedikit asing.

Sintren yang diperkenalkan di Desa Dukuhbadag ini struktur pertunjukannya masih sangat sederhana. Peralatan seni yang ada pada awalnya hanya alat musik yang mempunyai nada dasar atau laras tertentu. Instrumen yang digunakan hanya alat musik yang bisa bunyi tetapi dapat mengiringi tarian yang dipertunjukan. Kebanyakan instrumennya hanya terbuat dari ruas bambu sering dikenal dengan nama Lodang, untuk goongnya digunakan bambu yang lebih besar. Pada pelaksanaan pementasan sintren di Dukuhbadag ini busana yang digunakan oleh penari dan personilnya masih sangat sederhana. Personilnya menggunakan baju hitam dan ikat kepala, sedangkan busana penarinya sejenis kebaya dan topi mahkota yang dibuat sederhana dari kertas karton.

Terdapat hal yang unik dalam pertunjukan Sintren di Desa Dukuhbadag ini, yaitu dengan adanya adegan Sintren yang dapat merangkak sendiri dan mengetahui dimana posisi kurungan berada.  Setelah Sintren diikat dengan tali dan dibungkus tikar, Sintren kemudian dapat merangkak menuju kurungan, kemudian setelah sampai pada kurungan maka punduh akan menutupnya dengan kurungan tersebut. Tambahan keunikan lainnya adalah adanya pementasan sulap yang diperagakan oleh bodornya ketika Sintren sudah dimasukan ke dalam kurungan, hal ini tidak berlaku pada sintren didaerah lain, sulap ini dilakukan bodor (pelawak) sambil menunggu Sintren keluar, agar penonton tetap terhibur dalam menunggu penari sintren keluar dari kurungan. Yang menarik lagi pertunjukan sulapnya ini masih berbau unsur magis. Mungkin ini merupakan kolaborasi atau upaya tertentu agar Sintren dapat lebih menarik.  Melihat kondisi ini, bagaimana agar sintren dapat dilestarikan, atau bahkan mungkin dapat beradaptasi dan mengalami metamorfosis sehingga dapat sesuai dengan perkembangan zaman. Mungkinkah sintren dapat dikolaborasikan dengan model pertunjukan lainnya yang serupa, agar modifikasi seni ini dapat mempertahankan sintren sebagai warisan budaya nasional yang membanggakan.   

Sumber : Fatmawati, Ayu, Rani. Pertunjukan Sintren Di Desa Dukuhbadag Kecamatan Cibingbin
                                  Kabupaten Kuningan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar