Melanjutkan tulisan kemarin tentang kesenian yang ada di cirebon. Dan yang baru ditulis adalah kesenian tari topeng
2. Sintren
Tembang adalah salah satu kekayaan dalam sastra lisan Jawa. Melalui tembang, seseorang dapat mencurahkan isi hatinya dengan tujuan tertentu sehingga tembang tersebut menjadi fungsional untuk berkomunikasi. Kesenian tradisional sintren mempunyai tembang-tembang yang mengandung fungsi penting baik dalam kaitannya dengan pertunjukan itu sendiri maupun masyarakat penikmatnya.
Masalah yang diteliti adalah bagaimana struktur tembang-tembang tersebut, makna apa saja yang terkandung di dalamnya, dan untuk apa tembang tersebut dinyanyikan dalam pertunjukan sintren.
Tujuan dari penelitian ini adalah memahami struktur pola tembang sintren, memahami makna-makna yang tersembunyi di balik lirik tembang sintren, dan mengetahui fungsi tembang sintren meliputi fungsi ritual, didaktis, protes sosial, dan hiburan bagi pertunjukan sintren sendiri dan masyarakat penikmatnya.
Dalam penelitian ini terdapat dua tahap analisis yaitu analisis teks tembang dan analisis fungsi tembang. Teks tembang dianalisis berdasarkan struktur atau ciri fisiknya. Kemudian dilakukan pembacaaan heuristik dan hermeneutik untuk menguak makna di balik teks tembang.
Dari paparan makna teks ini, diperoleh fungsi tembang yaitu ritual, didaktis, protes sosial, dan hiburan. Fungsi ritual berkaitan dengan pemanggilan roh gaib untuk masuk ke tubuh sintren dan bodor serta setelah selesai dikeluarkan kembali dari tubuh anak-anak tersebut. Fungsi didaktis dalam tembang ini ialah mengajak penikmat tembang untuk memandang hidup lebih bijaksana agar diperoleh keselarasan hidup. Fungsi protes sosial berisi imbauan agar tidak meremehkan kaum perempuan. Penyampaian ketiga fungsi tersebut adalah melalui aspek hiburan yang dikemas dalam satu pertunjukan yaitu pertunjukan sintren.
Kesenian sintren merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Cirebon. Kesenian ini memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan kesenian tradisional Cirebon lainnya. Unsur Magis merupakan keunikan dalam setiap pementasan sintren, dengan gadis yang masih suci sebagai penarinya. Penari sintren, menari dalam keadaan trance (tidak sadar), masyarakat Cirebon percaya saat itu si penari dimasuki roh halus. Semula kesenian ini hanya merupakan hiburan bagi para istri nelayan saat menunggu suami pulang dari mencari ikan. Selain itu kesenian ini ditampilkan pula dalam upacara-upacara adat masyarakat setempat seperti nebus weteng (saat usia kandungan mencapai tujuh bulan) dan nyadran (awal musim mencari ikan). Pada awal-awal kelahirannya kesenian ini ditampilkan dengan cara pebarang atau ngamen, dan unsur magis atau mistik dalam kesenian tersebut masih sangat kuat.Penelitian mengenai ritual magis di balik kesenian sintren ini, berupaya mengungkapkan bagaimana kesenian sintren tersebut. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui apakah sampai saat ini kesenian sintren masih menggunakan unsur magis, selain itu peneliti pun ingin mengetahui adakah perubahan-perubahan dalam kesenian sintren.
Sintren
termasuk salah satu kesenian hiburan rakyat yang sejenis dengan kesenian debus,
kuda lumping, gacle dan gopek kesenian debus, kuda lumping, gacle dan gopek
(Soepandi, 1977: 55). Sintren salah satu jenis seni pertunjukan rakyat Jawa Barat
yang banyak terdapat di daerah Pantura (pantai utara), terutama di wilayah
Cirebon, Indramayu, Subang, dan Kuningan. Beberapa makna yang terdapat dibalik
kesenian sintren, antara lain: Makna mistis, karena memiliki hubungan dengan
perolehan magis simpatetik, yang tercermin lewat lagu-lagu yang dinyanyikan
dengan menonton, sederhana dan mampu memberikan kekuatan tertentu sehingga dari
kondisi terikat kuat sintren dapat lepas dan berpakaian dalam hitungan detik;
Makna teatrikal, yang digambarkan dengan tampilnya pawang, sintren dan ranggap
(kurungan) yang membuat adegan simultan. Penampilan sintren berganti-ganti rupa
sejak saat diikat dan dimasukkan ke dalam kurungan, lalu keluar dan masuk lagi
dalam kurungan. Ini merupakan adegan teatrikal yang menarik bagi siapapun yang melihatnya. Pertunjukkan Sintren dipimpin oleh seorang
pawang sebagai shaman atau dukun.
Penari sintren biasanya memakai kacamata hitam
untuk menutupi mata (posisi biji mata) sewaktu trance. Dalam pertunjukan
sintren biasanya digunakan kemenyan dan kurungan (Bahasa Sunda; ranggap) yang
ditutupi kain hitam, supaya sintren tidak terlihat ketika berada di dalam
kurungan tersebut. Permasalahan dewasa ini yang muncul diantaranya yaitu
semakin langkanya pertunjukan tari sintren. Di daerah Jawa Barat hampir jarang
ditemukan pertunjukan sintren secara umum, kalau pun ada hanya di beberapa
daerah terpencil yang penontonnya pun hanya kalangan masyarakat sekitar.
Padahal jika kita pikirkan, bahwa sesungguhnya kesenian sintren ini merupakan
aset dan kekayaan daerah yang harus dilestarikan keberadaannya. Pertunjukan
semacam sulap yang menghadirkan pemainnya dalam kondisi terikat dan dimasukan kedalam
kurungan tertutup ini mungkin saja sebenarnya berasal dari kesenian sintren
masa lalu yang dikembangkan dengan kemasan lain. Ketika peneliti mengadakan survei ke beberapa
tempat, akhirnya peneliti menemukan suatu wilayah yang masih sering
menyelenggarakan pertunjukan sintren yaitu Desa Dukuhbadag Kecamatan Cibingbin
Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Di desa ini pertunjukan sintren dipimpin oleh
Bapak D.U. Sahrudin. Pertunjukan sintren di desa ini sering diadakan ketika ada
acara syukuran pernikahan atau sunatan. Selain itu juga dalam acara
memperingati hari-hari besar sering dihadirkan pertunjukan sintren ini. Setiap
ada pertunjukan sintren, antusias masyarakat cukup tinggi. Mungkin karena
pertunjukan sintren mulai jarang dan menjadi sedikit asing.
Sintren yang diperkenalkan di Desa Dukuhbadag
ini struktur pertunjukannya masih sangat sederhana. Peralatan seni yang ada
pada awalnya hanya alat musik yang mempunyai nada dasar atau laras tertentu.
Instrumen yang digunakan hanya alat musik yang bisa bunyi tetapi dapat
mengiringi tarian yang dipertunjukan. Kebanyakan instrumennya hanya terbuat
dari ruas bambu sering dikenal dengan nama Lodang, untuk goongnya digunakan
bambu yang lebih besar. Pada pelaksanaan pementasan sintren di Dukuhbadag ini
busana yang digunakan oleh penari dan personilnya masih sangat sederhana.
Personilnya menggunakan baju hitam dan ikat kepala, sedangkan busana penarinya
sejenis kebaya dan topi mahkota yang dibuat sederhana dari kertas karton.
Terdapat
hal yang unik dalam pertunjukan Sintren di Desa Dukuhbadag ini, yaitu dengan
adanya adegan Sintren yang dapat merangkak sendiri dan mengetahui dimana posisi
kurungan berada. Setelah Sintren diikat
dengan tali dan dibungkus tikar, Sintren kemudian dapat merangkak menuju
kurungan, kemudian setelah sampai pada kurungan maka punduh akan menutupnya
dengan kurungan tersebut. Tambahan keunikan lainnya adalah adanya pementasan
sulap yang diperagakan oleh bodornya ketika Sintren sudah dimasukan ke dalam
kurungan, hal ini tidak berlaku pada sintren didaerah lain, sulap ini dilakukan
bodor (pelawak) sambil menunggu Sintren keluar, agar penonton tetap terhibur
dalam menunggu penari sintren keluar dari kurungan. Yang menarik lagi
pertunjukan sulapnya ini masih berbau unsur magis. Mungkin ini merupakan
kolaborasi atau upaya tertentu agar Sintren dapat lebih menarik. Melihat kondisi ini, bagaimana agar sintren
dapat dilestarikan, atau bahkan mungkin dapat beradaptasi dan mengalami
metamorfosis sehingga dapat sesuai dengan perkembangan zaman. Mungkinkah
sintren dapat dikolaborasikan dengan model pertunjukan lainnya yang serupa,
agar modifikasi seni ini dapat mempertahankan sintren
sebagai warisan budaya nasional yang membanggakan.
Sumber : Fatmawati, Ayu, Rani. Pertunjukan Sintren Di Desa Dukuhbadag Kecamatan Cibingbin
Kabupaten Kuningan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Kabupaten Kuningan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar