Kamis, 19 Desember 2019

MACAM-MACAM KESENIAN DI CIREBON (GEMBYUNG)

0 komentar


Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Kesenian sebagai unsur kebudayaan dalam perjalanannya mengalami perkembangan dari masa ke masa dalam bentuk penampilannya, alat-alat yang digunakan ataupun aturan-aturan pokok yang terkandung dalam suatu kesenian. Suryana (dalam Herlinawati, 2007, hlm. 730) membedakan kesenian sebagai kesenian tradisi (kesenian tradisional) dan kesenian masa kini (modern). Kesenian tradisional didukung oleh masyarakat yang memiliki sikap yang terikat pada aturan adat. Kesenian tradisional yang berkembang secara turun-temurun, yang mempunyai unsur-unsur kepercayaan dan interpretasi tradisi masyarakat, umumnya menjadi ciri khas dari kesenian tradisional. Kesenian merupakan identitas pemiliknya.

Jika kebudayaan (kesenian) itu berada pada tingkat daerah, maka kesenian itu adalah milik daerah. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (2009, hlm. 58) bahwa : Kesenian yang merupakan salah satu unsur kebudayaan universal, merupakan unsur yang dapat menonjolkan sifat, khas dan mutunya, dengan demikian kesenian merupakan unsur paling utama dalam kebudayaan Nasional Indonesia. Dalam proses pertumbuhannya, kesenian tradisional yang merupakan bagian dari kesenian rakyat diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Yoety (1986, hlm. 13) : “Kesenian tradisional adalah kesenian yang sejak lama turun temurun hidup dan berkembang pada suatu daerah masyarakat etnik tertentu yang perwujudannya mempunyai peranan tertentu dalam masyarakat pendukungnya”.

Gembyung adalah ensemble musik yang terdiri atas beberapa waditra terbang yang merupakan jenis kesenian bernafaskan Islam. Menurut Atmadibrata (1983, hlm. 31) seni Gembyung adalah seni Terebang yang telah dikombinasi/dikombinir dengan alat bunyi-bunyian antara lain : empat buah terebang, kendang dan kulanter, goong dan kempul, saron dan rebab. Kesenian ini merupakan kesenian yang terkenal dengan nilai-nilai keagamaan atau religi yang cukup tinggi. Kesenian Gembyung merupakan salah satu peninggalan budaya Islam di Cirebon. Seni ini merupakan pengembangan dari kesenian Terebang yang hidup di lingkungan pesantren. Jadi dapat dikatakan bahwa Terebang Buhun adalah cikal bakal kesenian Gembyung, dan masyarakat Cirebon lebih mengenalnya sebagai Terebang Brai atau Brahi. Seperti yang dikemukakan Herlinawati (2007, hlm. 751), dilihat dari perwujudannya, seni Terebang Brai pada dasarnya sama dengan Gembyung, baik pada irama atau nyanyian dan lagu pengiringnya. Yang membedakan keduanya adalah terletak pada ukuran waditra yang digunakan. Ukuran waditra pada kesenian Terebang Brai lebih kecil dibandingkan dengan yang digunakan dalam Gembyung.

Berdasarkan sejarah lahirnya kesenian Gembyung di Cirebon, tidak terlepas dari proses penyebaran agama Islam di wilayah ini. Kesenian Gembyung pada awalnya digunakan sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Supriatna (2010, hlm. 399) bahwa seperti halnya kesenian Terebang, Gembyung digunakan oleh para wali sebagai media untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon. Kesenian Gembyung biasa dipertunjukkan pada upacara-upacara kegiatan agama Islam, seperti peringatan Maulid Nabi, Rajaban, dan kegiatan 1 Syuro, yang digelar disekitar tempat ibadah. Selain itu kesenian Gembyung juga digunakan sebagai pelengkap acara- acara ritual seperti Khaulan dan sebagainya.

Mengenai siapa yang pertama kali memiliki ide untuk mengembangkan kesenian Terebang Brai menjadi kesenian Gembyung memang tidak dapat diketahui secara pasti, yang jelas kesenian Gembyung muncul di daerah Cirebon setelah Kesenian Terebang Brai hidup cukup lama di daerah Cirebon.  Keunikan Kesenian Gembyung di Cirebon diantaranya adalah pertunjukan yang mempergunakan Terebang Besar. Selain itu keunikan lainnya adalah kesenian Gembyung pada awalnya hanya dimainkan untuk memeriahkan peringatan kegiatan hari besar agama Islam seperti Maulud Nabi Muhammad SAW, Rajaban, kegiatan 1 Syuro, Khaulan dan sebagainya. Dilihat dari tempat penampilannya, kesenian Gembyung memiliki nilai religi yang dominan dimana kesenian Gembyung hanya dipentaskan pada upacara-upacara peringatan hari besar agama Islam serta nyanyiannya yang berupa doa-doa dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Keunikan lainnya adalah, penampilan kesenian Gembyung tidak boleh menggunakan alat pengeras suara atau speaker seperti yang kerap digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan seni lainnya. Keunikan lainnya yakni dari lirik dalam setiap penampilan kesenian Gembyung dimana lirik yang digunakan berasal dari kitab “Barzanji”. Seiring perkembangan zaman, kesenian Gembyung yang dahulu hanya dipentaskan pada kegiatan-kegiatan besar agama Islam kini sudah menjadi bagian dari pertunjukan yang diadakan dalam kegiatan yang menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat Cirebon. Seperti misalnya acara pernikahan, khitanan atau upacara memperingati hari kemerdekaan, hari jadi Kabupaten Cirebon serta pentas seni. Lirik lagu yang dibawakan dalam penampilan kesenian Gembyung menggunakan kata-kata dari kitab “Barzanji”.

Hingga saat ini, lirik dari kitab Berzanji masih tetap digunakan dalam setiap penampilan kesenian Gembyung. Adapun kenyataan yang dapat kita lihat dari pengaruh globalisasi yang terjadi pada saat ini, yaitu banyaknya kesenian-kesenian tradisional, termasuk kesenian Gembyung yang mulai banyak ditinggalkan bahkan tidak dikenal oleh masyarakat, khususnya generasi muda karena kesenian tersebut dinilai kuno dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang serba modern seperti saat ini. Terlebih dengan hadirnya berbagai teknologi-teknologi yang serba canggih, hal tersebut membuat masyarakat lebih memilih untuk menyaksikan seni hiburan yang bersifat modern. Soedarsono (1999, hlm. 1) dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi mengemukakan : Adapun penyebab dari hidup matinya sebuah seni pertunjukan ada bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh karena perubahan yang terjadi di bidang politik, ada yang disebabkan oleh masalah ekonomi, ada yang karena perubahan selera masyarakat penikmat, dan ada pula yang karena tidak mampu bersaing dengan bentuk-bentuk pertunjukan yang lain.  Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk membahas mengenai perkembangan kesenian Gembyung di Kabupaten Cirebon.

Ada beberapa alasan penting mengapa penelitian ini penting untuk dikaji. Pertama, sebagai putra daerah yang dibesarkan di Kabupaten Cirebon, maka penulis berkewajiban untuk melestarikan sejarah dan budaya lokal yang ada di Cirebon. Apabila masalah ini tidak dikaji, bukan tidak mungkin kesenian Gembyung akan hilang karena dilupakan. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pengetahuan baru kepada generasi muda tentang kesenian Gembyung yang merupakan kesenian tradisional di Cirebon. Kedua, kenyataannya masyarakat Cirebon saat ini banyak yang tidak mengetahui tentang kesenian Gembyung. Kesenian Gembyung yang masih hidup sampai saat ini ternyata masih belum dikenal oleh masyarakat Cirebon pada umumnya. Seperti hasil wawancara yang penulis lakukan dengan seorang mahasiswa, dirinya mengaku tidak mengetahui tentang kesenian Gembyung. Bahkan baru mendengar pertamakali ketika penulis melakukan wawancara. Hal ini menunjukan bahwasanya kesenian Gembyung masih belum dikenal oleh masyarakat Cirebon khususnya generasi muda. Jika hal ini dibiarkan, tidak akan ada generasi muda yang memiliki ketertarikan terhadap kesenian Gembyung. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan minat masyarakat khususnya generasi muda di Kabupaten Cirebon untuk berpartisipasi dalam rangka melestarikan kesenian Gembyung sebagai salah satu aset kebudayaan daerah Kabupaten Cirebon yang kini hampir punah.  


Sumber : Wahyudi, Irfan, Budiwati, dan Sutanto. Kesenian Gembyung Di Padepokan Dongdo
                                          Kabupaten Subang. 2013. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar