Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Kesenian sebagai unsur kebudayaan dalam perjalanannya mengalami perkembangan dari masa ke masa dalam bentuk penampilannya, alat-alat yang digunakan ataupun aturan-aturan pokok yang terkandung dalam suatu kesenian. Suryana (dalam Herlinawati, 2007, hlm. 730) membedakan kesenian sebagai kesenian tradisi (kesenian tradisional) dan kesenian masa kini (modern). Kesenian tradisional didukung oleh masyarakat yang memiliki sikap yang terikat pada aturan adat. Kesenian tradisional yang berkembang secara turun-temurun, yang mempunyai unsur-unsur kepercayaan dan interpretasi tradisi masyarakat, umumnya menjadi ciri khas dari kesenian tradisional. Kesenian merupakan identitas pemiliknya.
Jika kebudayaan
(kesenian) itu berada pada tingkat daerah, maka kesenian itu adalah milik
daerah. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (2009,
hlm. 58) bahwa : Kesenian yang merupakan salah satu unsur kebudayaan universal,
merupakan unsur yang dapat menonjolkan sifat, khas dan mutunya, dengan demikian
kesenian merupakan unsur paling utama dalam kebudayaan Nasional Indonesia. Dalam
proses pertumbuhannya, kesenian tradisional yang merupakan bagian dari kesenian
rakyat diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Yoety (1986, hlm. 13) : “Kesenian
tradisional adalah kesenian yang sejak lama turun temurun hidup dan berkembang
pada suatu daerah masyarakat etnik tertentu yang perwujudannya mempunyai
peranan tertentu dalam masyarakat pendukungnya”.
Gembyung adalah ensemble musik yang terdiri
atas beberapa waditra terbang yang merupakan jenis kesenian bernafaskan Islam.
Menurut Atmadibrata (1983, hlm. 31) seni Gembyung adalah seni Terebang yang
telah dikombinasi/dikombinir dengan alat bunyi-bunyian antara lain : empat buah
terebang, kendang dan kulanter, goong dan kempul, saron dan rebab. Kesenian ini
merupakan kesenian yang terkenal dengan nilai-nilai keagamaan atau religi yang cukup
tinggi. Kesenian Gembyung merupakan salah satu peninggalan budaya Islam di Cirebon.
Seni ini merupakan pengembangan dari kesenian Terebang yang hidup di lingkungan
pesantren. Jadi dapat dikatakan bahwa Terebang Buhun adalah cikal bakal
kesenian Gembyung, dan masyarakat Cirebon lebih mengenalnya sebagai Terebang
Brai atau Brahi. Seperti yang dikemukakan Herlinawati (2007, hlm. 751), dilihat
dari perwujudannya, seni Terebang Brai pada dasarnya sama dengan Gembyung, baik
pada irama atau nyanyian dan lagu pengiringnya. Yang membedakan keduanya adalah
terletak pada ukuran waditra yang digunakan. Ukuran waditra pada kesenian
Terebang Brai lebih kecil dibandingkan dengan yang digunakan dalam Gembyung.
Berdasarkan
sejarah lahirnya kesenian Gembyung di Cirebon, tidak terlepas dari proses
penyebaran agama Islam di wilayah ini. Kesenian Gembyung pada awalnya digunakan
sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Hal ini senada dengan yang
dikemukakan oleh Supriatna (2010, hlm. 399) bahwa seperti halnya kesenian
Terebang, Gembyung digunakan oleh para wali sebagai media untuk menyebarkan
agama Islam di Cirebon. Kesenian Gembyung biasa dipertunjukkan pada
upacara-upacara kegiatan agama Islam, seperti peringatan Maulid Nabi, Rajaban,
dan kegiatan 1 Syuro, yang digelar disekitar tempat ibadah. Selain itu kesenian
Gembyung juga digunakan sebagai pelengkap acara- acara ritual seperti Khaulan
dan sebagainya.
Mengenai siapa yang pertama kali memiliki ide untuk mengembangkan
kesenian Terebang Brai menjadi kesenian Gembyung memang tidak dapat diketahui
secara pasti, yang jelas kesenian Gembyung muncul di daerah Cirebon setelah
Kesenian Terebang Brai hidup cukup lama di daerah Cirebon. Keunikan Kesenian Gembyung di Cirebon
diantaranya adalah pertunjukan yang mempergunakan Terebang Besar. Selain itu
keunikan lainnya adalah kesenian Gembyung pada awalnya hanya dimainkan untuk
memeriahkan peringatan kegiatan hari besar agama Islam seperti Maulud Nabi
Muhammad SAW, Rajaban, kegiatan 1 Syuro, Khaulan dan sebagainya. Dilihat dari
tempat penampilannya, kesenian Gembyung memiliki nilai religi yang dominan
dimana kesenian Gembyung hanya dipentaskan pada upacara-upacara peringatan hari
besar agama Islam serta nyanyiannya yang berupa doa-doa dan shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW.
Keunikan lainnya adalah, penampilan kesenian Gembyung tidak boleh
menggunakan alat pengeras suara atau speaker seperti yang kerap digunakan dalam
pertunjukan-pertunjukan seni lainnya. Keunikan lainnya yakni dari lirik dalam
setiap penampilan kesenian Gembyung dimana lirik yang digunakan berasal dari
kitab “Barzanji”. Seiring perkembangan zaman, kesenian Gembyung yang dahulu
hanya dipentaskan pada kegiatan-kegiatan besar agama Islam kini sudah menjadi
bagian dari pertunjukan yang diadakan dalam kegiatan yang menyangkut kehidupan sehari-hari
masyarakat Cirebon. Seperti misalnya acara pernikahan, khitanan atau upacara
memperingati hari kemerdekaan, hari jadi Kabupaten Cirebon serta pentas seni.
Lirik lagu yang dibawakan dalam penampilan kesenian Gembyung menggunakan
kata-kata dari kitab “Barzanji”.
Hingga saat ini, lirik dari kitab Berzanji
masih tetap digunakan dalam setiap penampilan kesenian Gembyung. Adapun
kenyataan yang dapat kita lihat dari pengaruh globalisasi yang terjadi pada
saat ini, yaitu banyaknya kesenian-kesenian tradisional, termasuk kesenian
Gembyung yang mulai banyak ditinggalkan bahkan tidak dikenal oleh masyarakat,
khususnya generasi muda karena kesenian tersebut dinilai kuno dan tidak sesuai
dengan perkembangan zaman yang serba modern seperti saat ini. Terlebih dengan
hadirnya berbagai teknologi-teknologi yang serba canggih, hal tersebut membuat
masyarakat lebih memilih untuk menyaksikan seni hiburan yang bersifat modern. Soedarsono
(1999, hlm. 1) dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi
mengemukakan : Adapun penyebab dari hidup matinya sebuah seni pertunjukan ada bermacam-macam.
Ada yang disebabkan oleh karena perubahan yang terjadi di bidang politik, ada
yang disebabkan oleh masalah ekonomi, ada yang karena perubahan selera
masyarakat penikmat, dan ada pula yang karena tidak mampu bersaing dengan
bentuk-bentuk pertunjukan yang lain. Berdasarkan
pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk membahas mengenai perkembangan
kesenian Gembyung di Kabupaten Cirebon.
Ada beberapa alasan penting mengapa
penelitian ini penting untuk dikaji. Pertama, sebagai putra daerah yang
dibesarkan di Kabupaten Cirebon, maka penulis berkewajiban untuk melestarikan
sejarah dan budaya lokal yang ada di Cirebon. Apabila masalah ini tidak dikaji,
bukan tidak mungkin kesenian Gembyung akan hilang karena dilupakan. Dengan
adanya penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pengetahuan baru kepada
generasi muda tentang kesenian Gembyung yang merupakan kesenian tradisional di
Cirebon. Kedua, kenyataannya masyarakat Cirebon saat ini banyak yang tidak mengetahui
tentang kesenian Gembyung. Kesenian Gembyung yang masih hidup sampai saat ini
ternyata masih belum dikenal oleh masyarakat Cirebon pada umumnya. Seperti
hasil wawancara yang penulis lakukan dengan seorang mahasiswa, dirinya mengaku
tidak mengetahui tentang kesenian Gembyung. Bahkan baru mendengar pertamakali
ketika penulis melakukan wawancara. Hal ini menunjukan bahwasanya kesenian
Gembyung masih belum dikenal oleh masyarakat Cirebon khususnya generasi muda.
Jika hal ini dibiarkan, tidak akan ada generasi muda yang memiliki ketertarikan
terhadap kesenian Gembyung. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan
minat masyarakat khususnya generasi muda di Kabupaten Cirebon untuk
berpartisipasi dalam rangka melestarikan kesenian Gembyung sebagai salah satu
aset kebudayaan daerah Kabupaten Cirebon yang kini hampir punah.
Sumber : Wahyudi, Irfan, Budiwati, dan Sutanto. Kesenian Gembyung Di Padepokan Dongdo
0 komentar:
Posting Komentar