Mungkin tidak banyak yang tahu siapa sosok Rasinah. Namun, bagi masyarakat Jawa Barat, namanya begitu melegenda di balik keberingasan dan kegemulaiannya di atas panggung, meskipun kini dirinya telah tiada.
Mimi Rasinah, begitulah ia kerap dipanggil. Mimi merupakan sebutan masyarakat Indramayu dan Cirebon untuk ibu, sedangkan sebutan untuk ayah adalah mama.
Dari kecil Mimi sudah menggeluti tari topeng yang diajarkan ayahnya. Pada umur 5 tahun ia sudah diajarkan menari oleh ayahnya yang berprofesi sebagai dalang dan ibunya yang berprofesi sebagai dalang ronggeng. Menginjak Mimi Rasinah berusia 7 tahun, ia mulai berkeliling untuk bebarangan atau mengamen tari topeng. Ketika bangsa Jepang sampai ke Indramayu, rombongan topeng ayahnya dituduh oleh Jepang sebagai mata-mata, sehingga semua aksesori tari topeng dimusnahkan oleh bangsa Jepang hingga hanya satu topeng saja. Pada agresi yang kedua dengan tuduhan yang sama, ayahnya tewas ditembak oleh Belanda.
Sepeninggal ayahnya, rombongan tari topeng Rasinah dipimpin suaminya, seorang dalang wayang. Sampai tragedi G 30 S, mereka dilarang untuk manggung, karena tariannya yang membangkitkan membangkitkan syahwat dan abangan. Tak cukup badai Gestapu, pada tahun 1970-an kelompok tari topeng Rasinah semakin sepi tanggapan, pentas tarling, dangdut dan sandiwara yang menggantikannya. Suami Rasinah akhirnya menjual seluruh topeng dan aksesoris tari sebagai modal mendirikan grup sandiwara. Rasinah berhenti menari topeng selama 20 tahun lebih, hanya menabuh gamelan saja untuk sandiwara.
Baru pada 1994, Endo Suanda dan seorang rekannya sesama dosen di STSI Bandung Toto Amsar Suanda, "menemukan kembali" Rasinah. tarian topeng Kelana yang dipertunjukkan Rasinah membuat keduanya terpesona. Aura magis yang ada, serta karakter yang berubah-ubah sesuai dengan karakter 8 topeng yang ada, dari mulai topeng panji sampai kelana, membuatnya terpesona. Seketika itu juga semangat Rasinah untuk menari kembali bangkit, dan Rasinah mulai kembali berpentas baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Keseriusan Mimi Rasinah dalam menggeluti kesenian ini dibuktikan dengan mempertahankan tradisi tari ini, sehingga banyak yang menyebutnya klasik. Mimi Rasinah juga aktif mengajarkan tari topeng ke sekolah-sekolah yang ada di Indramayu.
Dedikasinya pada tari topeng telah memberikan inspirasi bagi banyak kalangan. Bahkan kiprahnya pun juga didokumntasikan dalam film berjudul Rasinah: The Enchanted Mask yang berdurasi 54 menit dan disutradarai oleh Rhoda Graurer, asal Amerika Serikat.
Mimi Rasinah bertekad untuk terus membawakan tarian yang konon diciptakan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati sebagai media penyebaran agama islam di wilayah Cirebon, sampai akhir nyawanya. Tanpa keluh, Mimi Rasinah pun akah tetap menari meskipun fisiknya sedang sakit.
Wanita kelahiran 3 Februari 1930 ini telah menggeluti tari topeng yang diajarkan ayahnya sejak usia lima tahun. Memiliki kedua orangtua yang merupakan penggiat seni, tak heran jika darah seniman mengalir dalam diri Mimi Rasinah.
Mimi Rasinah cilik bahkan sudah ikut mengamen tari topeng berkeliling bersama ayahnya. Kehidupan yang keras telah menempanya sejak kecil, seperti saat Jepang menyerbu Indramayu. Kelompok tari keliling milik ayahnya dibekukan, karena dianggap sebagai mata-mata oleh Jepang. Semua perangkat tari topengnya pun dimusnahkan. Hingga pada akhirnya, Lastra, ayah Mimi Rasinah, ditembak mati oleh Belanda, karena diangap sebagai intel berkedok tari topeng.
Badai kembali menguji Mimi Rasinah. Adanya tragedi Gestapu melarangnya untuk menampilkan lincah gemulai tari topeng, karena dianggap sebagai tarian yang seronok. Tak cukup dengan itu, tahun 1970 pun kembali menjadi mimpi buruk bagi kesenian yang diusungnya. Adanya sandiwara pantura membuat tarian topengnya tersingkir.
Dengan berat hati Mimi Rasinah pun menjual semua topeng beserta aksesorisnya. Ia melanjutkan hidup dengan membangun kelompok sandiwara pantura, menggunakan uang hasil penjualan. Selama dua puluh tahun lebih, hidup Mimi Rasinah pun semakin menjauh dari panggilan jiwanya sebagai seniman tari topeng. Beberapa pekerjaan ia lakoni, sebagai penabuh gamelan hingga pengasuh bayi.
Setelah menanti sekian lama untuk menggapai mimpinya, tahun 1999, seorang dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Endo Suanda, beserta Toto Asmar, menemui Mimi Rasinah untuk mengumpulkan kembali harapannya. Kedua pria ini memintanya untuk mempertunjukan tari topeng.
Usia bukan menjadi penghalang bagi Mimi Rasinah untuk membuktikan kecintaannya pada tari topeng, yang membutuhkan energi prima untuk membawakannya. Namun, wanita yang telah lanjut usia itu masih tetap lincah dan gesit membawakan tari topeng. Alhasil, kedua penggiat tari tradisional Jawa Barat itu mendorong Mimi Rasinah untuk kembali ke jalurnya, menjadi seorang wanita yang berlenggak-lenggok di balik topeng.
Dengan semangat yang menggelora, Mimi Rasinah membuktikan jika usia bukanlah halangan untuk terus melestarikan budaya bangsa. Terbukti, panggung bagi wanita kelahiran Indramayu ini pun merambah ke manca negara, dari negeri sakura hingga benua biru Eropa.
Pentas demi pentas ia lakoni, aura magisnya pun terus terpancar di atas panggung. Kecintaan Mimi Rasinah pada belahan jiwanya ini juga ditunjukkan dengan mengajarkan tari topeng di sekolah-sekolah di Indramayu.
Pada tahun 2006, Rasinah jatuh pada saat mengambil air wudhu setelah mengajar tari di sebuah sekolah di Indramayu. Dua pekan setelah dirawat di RSHS, Mimi mengakhiri jalan tarinya. Ia mewariskan seluruh topeng dan aksesorinya kepada Aerli Rasinah, sang cucu penerus, dalam sebuah upacara yang mengharukan sekali. Pada 15 Maret Aerli harus bebarangan di tujuh tempat dalam sehari sebagai syarat untuk meneruskan Mimi Rasinah. Sejak hari itu, keberadaan sanggar pun berada di pundah mahasiswa STSI Bandung berusia 22 tahun ini.
Meski sebagian tubuhnya lumpuh akibat stroke, namun semangat Rasinah untuk menari tetap ada, Rasinah berkata "Saya akan berhenti menari kalau sudah mati". Hal ini dibuktikan pada tarian terakhirnya, ia menari di Bentara Budaya Jakarta dalam acara pentas seni dan pameran "Indramayu dari Dekat", setelah tarian itu dia dia jatuh sakit dan dirawat di RSUD Indramayu. Pada tanggal 7 Agustus 2010 Mimi Rasinah akhirnya meninggal dunia, tetapi aktivitas menari di sanggar tarinya masih tetap berjalan. Mimi Rasinah dikebumikan Pekandangan, Indramayu, Indramayu pada hari Minggu, 8 Agustus 2010 sekitar pukul 9:00 WIB. Ratusan iring-iringan pelayat mengantarkan kepergian sang maestro yang namanya telah mendunia karena tari topengnya. Prosesi pemakaman maestro tari topeng Indramayu berlangsung secara sederhana. Warga yang turut mengantar jasad sang maestro topeng gaya Indramayu sampai diperistirahatannya yang terakhir. Namun hanya sejumlah seniman dan pejabat setempat yang hadir untuk mengikuti prosesi pemakaman.
Tongkat estafet harus terus dilanjutkan. Akhirnya warisan mimi rasinah diwariskan kepada Aerli.
Menurut Aerli, tongkat estafet kesenian ini harus diteruskan ke generasi selanjutnya. Untuk melestarikan tari topeng, khususnya di wilayah Indramayu, Sanggar Tari Mimi Rasinah bekerja sama dengan PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field, melaksanakan tiga kegiatan utama. Yakni, pelatihan tari topeng, gamelan, serta pembinaan kelompok pengrajin topeng bagi siswa-siswi di kabupaten Indramayu.
Sejauh ini, Sanggar Tari Mimi Rasinah berhasil membina sekitar 100 anak dari enam desa di kabupaten Indramayu. Anak-anak ini pun sering diajak pentas, misalnya ketika acara hari ulang tahun Indramayu atau saat mendapat undangan tampil di Bali.
Sebagai penerus Mimi Rasinah, Aerli memiliki harapan besar bagi tari topeng. Tidak muluk-muluk, impiannya adalah agar tari topeng tidak mati dan banyak orang dari dalam dan luar negeri tertarik untuk belajar kesenian tradisional Indonesia ini.
0 komentar:
Posting Komentar