Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah swt melalui Nabi Muhammad
saw sebagai jalan hidup bagi seluruh makhluk. Melalui pengamalan nilai- nilai
yang dikandung Islam, manusia diharapkan mampu mewujudkan fungsi inti dari
penciptaan manusia, yaitu sebagai ’abd yang kemudian ditransformasikan dalam kehidupan
sebagai khalifatullah fil-ardl agar terwujud rahmatan lil ’alamin. Allah menciptakan manusia beserta fungsi dan
peran yang harus dijalankannya di muka bumi. Dalam tahap struktural, al- Qur’an
menyebut manusia sebagai nafs atau ego yang terbentuk dari unsur jasad yang kemudian
terwujud dalam perantara sebagai hamba. Manusia sebagai hamba terikat (taat, patuh,
dan tunduk) hanya kepada Allah semata (Musa Asy’arie, 1992: 9-49). Sedangkan
dalam tahap fungsional, al- Qur’an menyebutnya sebagai khalifah yang mengemban
tugas untuk mewujudkan kesejahteraan di muka bumi. Manusia dalam kapasitasnya
sebagai khalifah bertumpu pada kebebasan akal.
Kebebasan akal ini mendorong
manusia untuk dapat bergerak melalui daya kreatifitas dan memerankan fungsinya
sebagai pencipta atau pembentuk sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan, pertumbuhan,
dan perkembangan masya- rakat. Elaborasi
dari dua peran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
Kekhalifahan merupakan realisasi dari pengabdian kepada Tuhan. Seorang khalifah
walaupun diberikan kebebasan dan kekuasaan untuk berkreasi, namun kebebasannya
itu tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia dibatasi oleh
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan baginya dari yang diwakilinya. Dalam konteks kebudayaan, Islam bukanlah
agama yang menutup diri dari keragaman seni maupun budaya. Penyebaran Islam ke
berbagai wilayah, memberikan kesempatan Islam untuk bersinggungan dengan
kebudayaan dan kesenian bangsa lain yang mengandung nilai-nilai tersendiri.
Islam bukanlah agama yang
menentang atau meniadakan daya kreatifitas manusia dalam berkesenian dan
melestarikan budaya. Islam menghargai dan mendukung daya kreatifitas manusia
dalam berkesenian selama kesenian tersebut tidak bertentangan dengan aturan- aturan
yang telah ditetapkan Allah swt. Ada atau tidaknya nilai dan unsur-unsur yang bertentangan
dengan Islam, merupakan tolak ukur boleh tidaknya seorang Muslim melestarikan
kesenian tersebut. Manusia juga diberi
fitrah (naluri) kemanusiaan oleh Allah, yaitu fitrah untuk berbeda. Perbedaan
pada manusia dapat disebabkan oleh waktu, tempat, maupun oleh masing-masing
pribadi tersebut. Fitrah ini kemudian mendorong manusia untuk lebih kreatif
dalam menghadapi kehidupan dan dalam mengekspresikan nilai-nilai estetika. Berangkat
dari fitrah tersebut (fitrah untuk berbeda) dan kemampuan manusia dalam berkreasi,
maka manusia ditunjuk menjadi wakil Allah swt di bumi dan berkewajiban bertanggungjawab
terhadap setiap perila- kunya.
Kemampuan ini menjadikannya sebagai makhuk moral yang selamanya dituntut
untuk mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik dan buruk. Memandang kesenian sebagai proses adalah
meletakkan kesenian itu sendiri dalam bingkai eksistensi hidup manusia yang
merupakan jelmaan dari gagasan dan ide yang di dalamnya terkandung suatu tujuan,
yaitu untuk menciptakan sesuatu yang lebih bermakna dan sesuai dengan nilai esensi
Islam (tauhid). Seni merupakan ekspresi estetis yang akan mengantarkan kesadaran
penikmat seni kepada ide transenden. Konsekuensi dari hal tersebut, maka semua
bentuk seni termasuk seni tari dapat meningkatkan keimanan, keyakinan kepada
Allah swt, dan mengandung unsur- unsur tauhid. Adalah hal yang keliru jika semua
jenis seni tari dianggap sebagai penghalang seseorang dalam beragama. Seni tari,
dalam hal ini seni tari Islam justru merupakan media manusia dalam mengekspresikan
nilai-nilai ilahiyah. Sekuler adalah
salah satu ciri dari peradaban Barat. Dengan kata lain, karakter budaya barat merupakan
budaya yang bebas nilai (sekuler). Sekulerisme tidak hanya berkembang dalam
ranah agama, namun juga pada ranah estetika. Paham sekulerisme memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada seorang seniman untuk berekspresi tanpa ada batasan
nilai maupun norma. Budaya dan seni adalah persoalan duniawi yang tidak boleh
dicampuri oleh agama. Dengan kata lain, kesenian dalam konteks kebudayan barat
merupakan seni yang bebas nilai.
Peradaban
Barat sangat kontras dengan peradaban Islam. Jika peradaban Barat sangat erat
kaitannya dengan sekularisme, peradaban Islam justru tidak mengenalnya. Seluruh
kegiatan manusia baik dalam aspek sosial, politik, hukum, ekonomi, kebudayaan,
dan kesenian harus berlandaskan tauhid. Seluruh aspek kehidupan itu harus mampu
menghantarkan pelakunya pada kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Pada aspek berkesenian, seni dalam pandangan
Islam merupakan manifestasi pengalaman estetika dalam jiwa manusia. Seni lahir
dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang
indah, apapun jenis keindahan itu (M. Quraish Shihab, 2000: 385). Kesenian
dalam berbagai wujudny amerupakan bentuk aktualisasi eksistensi manusia dalam
berbudaya. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia atau fitrah yang
dianugerahkan Allah kepada manusia. Kemampuan manusia dalam berkesenian dan
berekspresi merupakan salah satu unsur yang membedakan antara manusia dengan
makhluk yang lain. Melalui seni, manusia
dapat merasakan kenikmatan (nikmat batin) sebagai akibat dari refleksi perasaan
terhadap stimulus yang diterimanya. Kenikmatan ini muncul ketika manusia dapat
menangkap dan merasakan simbol- simbol estetika dari pencipta seni. Oleh karena
itu, seringkali dikatakan bahwa nilai seni sebagai nilai spiritual (Rasjoyo,
1994: 1). Al-Qur’an menyebut bahwasanya Islam
adalah agama fitrah. Konsekuensi dari hal tersebut, Islam mendukung kesenian selama
ekspresi dan manifestasi kesenian tersebut lahir dan mendukung fitrah manusia yang
suci. Oleh karena itu, Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia (Syamsul Hidayat,
2001: 27). Tujuan dan fungsi seni dalam
Islam merupakan sebagai penopang dan pembantu ajaran al-Qur’an, yakni
menghantarkan pada kesadaran terhadap Allah swt melalui keindahan bentuk,
warna, dan bunyi yang memikat. Dengan kata lain, seni mampu menghantarkan
manusia pada yang tak terhingga dan bertindak sebagai sarana untuk mencapai
Yang Maha Benar (Sayyed Hossein Nars, 1994: 219).
Prinsip dasar estetika (keindahan) adalah
pandangan dunia tauhid. Dengan demikian, estetika merupakan bagian dari ekspresi
tauhid-inti ajaran Islam-yang membawa kesadaran kepada ide transenden. Pengalaman
estetik akan tertuang dalam bentuk seni (Suharjianto, 2001: 6). Seni yang diekspresikan
melalui gerakan, akan menciptakan gerakan tari yang indah. Segala sesuatu yang
tidak ada di alam adalah transenden. Adapun yang memenuhi syarat transenden
hanya Allah. Dengan demikian, seni merupakan ekspresi estetis yang akan mengantarkan
kesadaran penikmat seni kepada ide transenden. Agama tanpa seni menjadi vulgar
dan tanpa arah. Hakekat pengalaman estetik (seni) dan pengalaman keagamaan-dalam
konsep filsafat Islam- terletak pada dimensi ontologis dan spiritual yang
bersifat tunggal, dus tidak ada kontradiksi antara keduanya, bahkan saling memperkaya
ruhani seseorang. Agama dan seni sama-sama mampu mentrasendir cahaya keindahan
Ilahi dan tanda-tanda kebesaran Allah yang terpantul pada ciptaan-Nya (Musa
Asy’arie, 1999: 135). Terdapat batasan
unsur seni yang sesuai dengan nilai Islam, yakni harus memuat unsur benar,
baik, dan bagus (Sidi Gazalba, 1988: 118)
Sesuatu yang baik, namun tidak
benar-mendukung fitrah (menegakkan akidah tauhid)-tidak dapat diterima oleh
Islam. Demikian pula dengan sesuatu yang bagus, namun tidak benar pun tertolak
dalam pandangan Islam. Sehingga, sesuatu yang bagus menurut konsepsi Islam pastilah
yang bersifat baik dan sesuatu yang baik pastilah sesuai dengan ukuran kebenaran
(Sidi Gazalba, 1988: 119). Batasan kebenaran dalam Islam tidak terletak pada
akal namun pada ayat-Nya. Konsekuensinya, selama suatu kesenian tersebut memuat
unsur-unsur baik; benar; dan bagus menurut Islam, maka kesenian tersebut boleh
dilestarikan. Terdapat beberapa norma
dalam Islam yang mengatur dalam berkesenian, yaitu: 1. Tidak ada nilai
unsur-unsur yang bertentangan dengan Al-Qur’an. 2. Tidak melukis sesuatu yang
bernyawa dan pornografi. 3. Menghindari tasyabuh (meniru-niru) dan tabarruj
(memamerkan kecantikan). 4. Selalu menjalin tali persaudaraan dengan
mengedepankan toleransi. 5. Dilarang menciptakan hikayat yang menceritakan
dewa-dewa dan mengkritik Allah swt. 6. Dilarang menampilkan drama dan film yang
melukiskan kekerasan, kebencian, dan kekejaman. 7. Tidak berlebihan dalam
segala hal.
0 komentar:
Posting Komentar