Tari Topeng Cirebon
gaya Palimanan tersebar disekitar Kecamatan Palimanan,
sebelum tahun 1500-an, Palimanan dan wilayah pegunungan Kromong disekitarnya
masuk dalam wilayah kerajaan Rajagaluh (kini lebih dari setengah wilayahnya
yang berada di sisi barat pegunungan Kromong masuk kedalam wilayah Kabupaten Majalengkan, yang khas dari gaya Palimanan jika dibandingkan dengan
gaya-gaya lainnya yang mengelilinginya seperti gaya Kalianyar, gaya Gegesik dan
gaya Slangit adalah pada sikap kuda-kuda yang disusun oleh Ki Wentar
(maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) yang menekankan bahwa kuda-kuda
harus mengikuti postur dan kecakapan penari atau dalangnya, sehingga pada
setiap penari atau dalang topeng Cirebon gaya Palimanan sangat mudah ditemukan
kuda-kuda yang berbeda menurut kepantasan dan kecocokan postur pada setiap penarinya.
SEJARAH
GAYA PALIMANAN
Nama asli dari Ki Wentar
adalah Ki Kudung, julukan Wentar sebenarnya baru diberikan
oleh bupati Bandung pada saat itu, yakni Pangeran Adipati Aria Martanegara
(1893-1918) yang diambil dari kosakata Kawentar yang berarti
terkenal, tetapi dalam keterangan lain, Ki dalang Sukarta yang
merupakan keluarga dari Ki Wentar meyakini bahwa julukan tersebut
(Wentar) sebenarnya diberikan oleh kesultanan
Kasepuhan. Ki Wentar mahir berbahasa Sunda, pada masa
Wentar bahasa Sunda baru saja mengalami apa yang dinamakan dengan modernisasi
aksara, aksara Romawi diperkenalkan oleh Karel Frederik Holle seorang pengusaha
perintis di bidang perkebunan teh yang hidup pada tahun 1822-1896, modernisasi
aksara Sunda menjadikan bahasa Sunda dapat dengan mudah dipelajari secara luas,
begitu juga sebaliknya, penggunaan aksara Romawi pada masyarakat Sunda membuat
masyarakat Sunda dapat dengan mudah mempelajari dan mengerti bahasa lainnya
dikarenakan aksara Romawi dijadikan dasar sebagai aksara baku pemerintahan pada
masa Belanda, dalam aktivitas keseniannya Ki Wentar lebih dekat
dengan para menak atau priyayi dan mengutamakan mengajar tari Topeng
Berkenaan dengan Ki Koncar,
menurut Ki Kandeg (maestro pembuatan Topeng Cirebon) nama aslinya
adalah Ki Konya, Ki Konya dan kelompoknya fokus
kepadamempertunjukan kesenian wayang Orang Cirebon hingga ke pelosok-pelosok
dikarenakan beliau lebih dekat dengan kalangan masyarakat biasa .
Bupati Sumedang,
Pangeran Arya Soerjakoesoemahadinata (1882-1919) sangat mengagumi dengan hasil
karya seni Ki Wentar dan Ki Koncar yang merupakan penyusun
geraknya (kolaborator tari) di dalam kesenian wayang Orang, keduanya kemudian
diminta oleh Pangeran Aria Soerjakoesoemahadinata untuk melatih para penari
keraton Sumedang Larang.
Rancan Engkek di Kabupaten Bandung diketahui sebagai
salah satu tempat yang dilintasi oleh Ki Wentar dan rombongannya
ketika bebarangan, di wilayah Rancan Ekek Ki Wentar
dan rombongannya mengunjungi rumah Ki Lurah Rancak Ekek sekaligus
anak dari Wedana Tanjumg Sari yaitu
Raden Sambas Wirakukusuma (1887-1962) yang menjabat sebagai Ki Lurah selama
dua periode yakni dari tahun 1920-1931 dan dilanjutkan periode tahun 1935-1942,
sebagaimana diketahui bahwa selain mengajarkan kesenian kepada
keturunannya, Ki Wentar juga mengajarkan kesenian kepada orang lain
diluar keturunannya, salah satu kelompok masyarakat yang berminat pada bidang
kesenian dan banyak menjadi murid dari Ki Wentar pada masa itu adalah
kelompok para Aristokrat (negarawan) seperti Ki Lurah Wirakukusuma,
selain Ki Lurah Wirakukusuma terdapat pula orang-orang lain dari beragam
profesi yang menjadi murid Ki Wentar atau Ki Kocar,
misalnya Wiranta dari Pabrik Kanji di Cibiru dan Okes Karta Atmadja dari
Ciparay
Pada masa
kemudian, Ki Wentar dan Ki Koncar berkolaborasi dengan
Raden Sambas Wirakukusuma (Ki Lurah Ranca Ekek) untuk mendesain sebuah
tarian baru yang menggabungkan gerakan tari Topeng Cirebon dengan Tayub
(kesenian tari yang biasa digelar di acara m di kesultanan-kesultanan di
Cirebon), tarian baru tersebut kemudian dikenal dengan nama tari Kursus, sebuah
tarian yang dipentaskan tanpa memakai topeng. nama tari Kursus ini kemudian sering
diasosiasikan kepada kelompok tari milik Raden Sambas Wirakukusuma yakni
kelompok tari Wiramahsari, nama tari Kursus yang merupakan perpaduan gerakan
tari Topeng Cirebon gaya Palimanan dengan Tayub ini kemudian diperkenalkan
secara luas melalui artikel di dalam jurnal Djawa yang diproduksi oleh Belanda
pada tahun 1930 yang berjudul De Soendaneesche Dans, artikel mengenai tari
Kursus tersebut ditulis oleh M Soeriadiradja dan I Adiwidjaja yang
menggambarkan secara rinci gerakan-gerakan pada tari Kursus tersebut, namun pada tahun 1950-an, tari
kursus ini kemudian dianggap hampir serupa dengan kesenian Tayub.
Tari Topeng Cirebon
gaya Palimanan oleh budayawan Cirebon dianggap mencapai masa kejayaannya pada
masa mimi Soedji (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan dan seorang penari
tayub) masih hidup atau hingga sekitar tahun 1970-an, yaitu dengan digelarnya
tari Topeng Cirebon gaya Palimanan hingga ke mancanegara, di antaranya Tiongkok, Jepang dan Australia serta dipanggilnya mimi Soedji
untuk mengisi kuliah sebagai dosen tamu pada perguruan tinggi di Jawa Barat. Pada tahun 1970-an tari Topeng
Cirebon (termasuk gaya Palimanan) dapat dengan mudah ditemui di berbagai sudut
wilayah di Cirebon, tetapi pada masa modern hal tersebut sudah sulit untuk
dijumpai, salah satu alasannya adalah masuknya bentuk bentuk hiburan yang
membawa teknologi baru sehingga masyarakat mulai terlelap dengan bentuk hiburan
yang baru tersebut, diantaranya adalah organ tunggal, walau ada sebagian gaya
tari Topeng Cirebon lainnya yang bersedia pagelarannya diselingi oleh
penampilan organ tunggal namun tidak banyak juga dalang tari Topeng Cirebon
yang menolak hal tersebut karena dianggap merusak aturan.
Setelah mimi Soedji
meninggal, seniman yang masih mempertahankan gaya Palimanan antara lain
adalah Ki Sukarta, Ki Waryo (putera dari Ki Empek
(maestro kesenian Cirebon), mimi Tursini (yang merupakan anak
kandung mimi Soedji) dan mimi Nani Kadmini.
Mimi Tursini sebelum
meninggalnya, memusatkan pelestarian dan konservasi seni tari Topeng Cirebon
gaya Palimanan di sanggarnya yakni di sanggar Mekar Suji Arum, mimi Tursini pernah
menuturkan tentang pola=pola pengajaran tari yang diberikan oleh orang tuanya
dahulu, yakni dengan cara bebarangan (mementaskan tari topeng dari
desa ke desa). Pada sekitar tahun 1950-an ketika usinya menginjak 12 tahun,
ibundanya yakni mimi Soedji (maestro tari Topeng Cirebon gaya
Palimanan) mengajaknya untuk bebarangan bagi seorang anak ataupun
murid tari Topeng Cirebon, bebarangan adalah momentum untuk
mempelajari tari Topeng Cirebon lebih dalam, mengasah diri untuk mematangkan
kepiawaian menari di depan banyak orang, masa bebarangan ini juga
oleh mimi Tursini disebut sebagai babakdeng dimana tarian
satu babaknya hanya dibayar dengan segedeng (seikat) padi.
menurut Novi yang
merupakan cucu dari mimi Tursini sekaligus sebagai penari tari Topeng
Cirebon gaya Palimanan, semasa hidupnya mimi Tursini berusaha sepenuh
hati dalam melestarikan gaya Palimanan, beliau tidak pernah meminta bayaran
ketika mengajarkan gaya Palimanan, semua diajarkan secara gratis demi
melestarikan gaya Palimanan yang sudah turun temurun diajarkan oleh leluhur dan
keluarganya, guna membeli atau membuat perlengkapan tari Topeng Cirebon, mimi Tursini
mencari biayanya dengan cara lain (dikarenakan beliau tidak memungut iuran pada
muridnya), diantaranya adalah menjadi pemandi jenazah dan pemijat, uang yang
diperolehnya kemudian dipergunakan untuk membeli perengkapan tarinya
diantaranya topeng, bahan pembuat sobra (hiasan kepala penari Topeng
Cirebon serta pakaiannya, menurut pengakuan Novi, terkadang mimi Tursini
sampai tidak memikirkan kebutuhan untuk makanannya sehari-hari hal tersebut
dikarenakan usaha yang dilakukan oleh mimi Tursini kurang mendapatkan
perhatian dari pihak berwenang.Namun dibalik kisah beratnya mimi Tursini
mempertahankan gaya Palimanan, beliau juga terus mengikuti kebiasaan leluhur
keluarganya yakni dengan mempererat tali silaturahmi, diantaranya adalah dengan
penari kontemporer kenamaan yang juga rekan seperguruannya ketika belajar tari
Topeng Cirebon gaya Palimanan kepada ibudanya mimi Soedji yakni Didi
Nini Towok, Didi kerap mengunjungi mimi Tursini setiap tahunnya.
Mimi Nani Kadmini selain
mendirikan sanggar tari Wulan Sari di desa Kedungan Bunder ,Gempol yang mengajarkan
anak-anak setempat tentang gaya Palimanan, mimi Nani juga sempat
mengajar di beberapa sekolah di kota Cirebon sebagai guru tari, hal tersebut
dilakukan untuk melestarikan tari Topeng Cirebon gaya Palimanan, dalam usaha
melestarikan gaya Palimanan pada masa modern, kesulitan yang ditemui salah
satunya adalah masalah ekonomi, banyak dari anak-anak didiknya yang lama tidak
datang untuk latihan walau tidak diwajibkan membayar iuran latihan tari
semata-mata karena kondisi ekonomi orang tuanya membuat anak didik tersebut
harus membantu mencukupi ekonomi keluarganya dengan bekerja.
Kondisi yang sama juga
terjadi dengan para Wiyaga gaya Palimanan, sudah tidak banyak lagi
yang menguasai gaya bermain gamelan untuk mengiringi tari Topeng Cirebon gaya
Palimanan, menurut mimi Nani para wiyaga yang mampu
mengiringi tari Topeng Cirebon gaya Palimanan mulai surut dan hanya menyisakan
yang sudah tua, salah satu diantaranya yang masih bisa ditemui adalah Ki Waryo,
putra dari maestro kesenian Cirebon Ki Empek.
Selain dari kondisi
para dalang yang mulai berkurang dan para wiyaga yang sudah tua,
kondisi barang-barang bersejarah yang berkait erat dengan gaya Palimanan juga
terbilang memprihatinkan, untuk topengnya, menurut mimi Nani Kadmini
yang masih disimpan di wilayah adat Palimanan adalah topeng Klana yang berusia
sekitar 100 tahun yang kondisinya kini sudah agak reta
MUSIK
PENGIRING GAYA PALIMANAN
Musik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng
Cirebon gaya Palimanan diantaranya adalah ;
·
Kembang sungsang, merupakan tetaluan (tabuhan
gamelan) yang dimainkan saat pagelaan tari Topeng Cirebon gaya Palimanan babak Panji
·
Gaya-gaya, merupakan tetaluan (tabuhan
gamelan) yang dimainkan saat pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan babak Samba,
kata Gaya-gaya diambil dari gerakan watak Samba yang lincah dan banyak tingkah.
·
Malang totog, merupakan tetaluan (tabuhan
gamelan) yang dimainkan saat pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan babak Tumenggung.
kata Malang totog berarti Belalang yang sedang menotog yang
diambil dari ekspresi dalam gerakan dalang Topeng yang sedang meniru
gerakan Malang (bahasa Indonesia: Belalang) tersebut, Malang
totog sebenarnya adalah nama asli dari tetaluan (tabuhan
gamelan) yang mengiringi babak Topeng Tumenggung namun
sekarang banyak yang mengenalnya denga nama tetaluan Tumenggung mengikuti
nama babak Tumenggung yang sedang dipentaskan.
·
Bendrong, merupakan tetaluan (tabuhan
gamelan) yang dimainkan saat pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan babak Jingga
Anom dan babak akhir yaitu Klana Udeng
·
Gonjing, merupakan tetaluan (tabuhan
gamelan) yang dimainkan saat pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan babak Klana
·
Kembang kapas, merupakan tetaluan (tabuhan
gamelan) yang dimainkan saat pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan babak Rumyang
BABAK
TARIAN
Babak tarian
yang dibawakan pada gaya Palimanan hampir serupa dengan yang ada pada gaya
Beber dan Randegan namun dengan penambahan babak Klana
Udeng sebagai akhir dari pagelarannya.
·
Panji, gerakannya sangat menghayati
diam namun penuh arti, sunyi ing raga, ngaji diri terhadap
allah swt, babak ini dalam gaya Palimanan melambangkan jiwa
yangg bersih suci tanpa dosa seperti bayi yang baru lahir.
·
Samba, gerakannya sangat lincah
merefleksikan anak balita yang sangat lincah dan senang bermain.
·
Tumenggung, menggambarkan jiwa yang
mulai dewasa dengan ditandai tumbuh kumis tipis pada topeng tumenggung yang
merefleksikan sudah dimilikinya tanggung jawab dalam kehidupan.
·
Jingga anom, babak pementasan
seperti teater yang menceritakan tokoh Jingga Anom.
·
Klana, merefleksikan sekumpulan
puncak jiwa amarah murka dari topeng Panji, Samba, Tumenggung, Jingga Anom yang
menjelma jadi satu menjadi angkra murka
·
Rumyang, babak Rumyang
ini menandai sudah terlepasnya hawa nafsu duniawi, dipentaskan saat terbitnya
matahari, saat sinar sudah terlihat samar-samar , babak ini
dalam gaya Palimanan diterjemahkan sebagai penemuan jati diri yang
sesungguhnya jatiningsun ing gusti , ganjen berlomba-lomba
menuntut dan mentaati peraturan Allah swt serta mulai memandang dunia
yang arum yaitu alam akhirat
·
Klana udeng, gerak tarinya perpaduan
semua gerak tari lima wanda (babak Topeng) namun dengan menambahkan
gerakan yang belum sempat ditarikan di topeng lima wanda tersebut, babak
Klana Udeng dipentaskan dengan tidak menggunakan sobra namun
dengan menggunakan Udeng .
x
0 komentar:
Posting Komentar