Seni pentas tradisional memiliki peran yang khusus dan unik
dalam kebudayaan Bali. Kesenian seperti tari dan teater tidak sekadar berfungsi
sebagai hiburan. Sebagian di antaranya menjadi komponen pelengkap dari ritual
keagamaan atau bahkan diposisikan sebagai ritual itu sendiri. Keragaman fungsi
ini membuat kesenian Bali begitu kaya dengan ragam dan variasi. Salah satu
wujud nyatanya dapat dilihat pada keragaman yang ada dalam kerajinan topeng
Bali.
Topeng Bali dibuat dari bahan kayu. Jenis kayu yang biasanya
digunakan sebagai bahan pembuatan topeng antara lain kenanga dan pule.
Dalam prosesnya, ada beberapa tahap pemahatan yang harus dilalui sampai
akhirnya menjadi topeng. Selain itu, adanya pakem tertentu dalam penggambaran
sifat tokoh membuat para perajin topeng harus memiliki keterampilan khusus.
Topeng menjadi perangkat utama dalam tari topeng, kesenian
dramatari tradisional khas Bali. Dalam tari topeng, setiap pementas atau penari
tampil dengan busana khusus serta mengenakan topeng. Topeng yang dikenakan oleh
seorang penari menunjukkan tokoh yang diperakannya dalam sebuah pertunjukan.
Cerita yang dibawakan dalam tari topeng biasanya berasal dari riwayat sejarah
(babad) atau kisah-kisah legenda.
Berdasarkan pada strata sosial dari lakon yang ditampilkan,
topeng dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis. Jenis-jenis topeng tersebut
antara lain topeng keras (sosok petarung), topeng tua (sosok sesepuh), topeng
bondres (rakyat biasa), dan topeng ratu (kalangan bangsawan).
Selain jenis umum tersebut, ada pula jenis topeng yang
khusus, seperti topeng Calonarang, topeng jauk, dan topeng telek.
Topeng Calonarang memperlihatkan sosok buruk rupa, bertaring, dan mata
membelalak yang menjadi simbolisasi kejahatan. Topeng jauk berbentuk
peralihan antara manusia serta raksasa yang berwatak kasar,
merepresentasikan makhluk yang membantu Barong dalam
menghadapi rangda. Seperti halnya jauk, telek merupakan
sekutu dari Barong, tetapi berupa sosok dengan wajah dan watak yang halus.
Saat ini, topeng Bali dibuat bukan sekadar sebagai
perangkat penting dalam pementasan tari topeng. Topeng Bali sudah banyak dijual
bebas kepada para wisawatan yang berkunjung untuk dijadikan cendera mata.
Drama Tari Topeng.
Seperti diketahui bahwa topeng
merupakan karya seni purba yang telah menyebar hampir diseluruh dunia. Karya
seni ini dibentuk sedemikian rupa untuk mewakili perwujudan atau ekspresi
tentang konsep batin sehubungan dengan wajah, entah itu manusia maupun
binatang.
Di Bali sendiri, topeng banyak
terlibat dalam berbagai macam seni pertunjukan, namun yang lazim disebut atau
yang paling mewakili kesenian topeng adalah Dramatari Topeng.
Secara umum, seni pertunjukan
bertopeng di Bali bisa diklasifikasikan menjadi lima, diantaranya adalah Brutuk,
Barong dan Rangda, Telek dan Jauk, Wayang Wong, dan Dramatari
Topeng
Kelima-limanya dari jenis diatas
masih merupakan kategori besar yang tidak menutup kemungkinan masih ada
pembagian lagi di dalamnya. Sebagai misal adalah Dramatari Topeng yang sejauh
ini dibedakan menjadi tiga yaitu Topeng Pajegan, Topeng Panca dan Topeng
Prembon.
Sejarah Drama
Tari Topeng Bali
Di Bali, jejak kesenian topeng
tertua bisa ditemukan pada arca Bhairawa di pura Kebo Edan dan Catur Kaya dari
Pejeng yang keduanya dalam memperlihatkan sikap menari dengan menggunakan
topeng. Untuk bukti tertulis adalah prasasti Bebetin (869 masehi) yang memuat
istilah “pertapukan” yang berarti perkumpulan topeng.
Selanjutnya adalah prasasti Blantik
(1058 masehi) dan prasasti Gurun Pai (1071 masehi) yang didalamnya memuat istilah
“atapukan” yang berarti topeng. Hanya saja, bukti-bukti yang telah ada belum
menggambarkan dengan jelas bentuk dan lakon keseniannya.
Pada perkembangan selanjutnya, Drama
Tari Topeng juga turut dipengaruhi oleh Drama Tari Gambuh yang dikatakan sebagai
mata air atau sumber seni pertunjukan Bali. Gambuh sendiri adalah kesenian
warisan Majapahit sebagai bagian dari kekuasaan Jawa Timur di Bali.
Kesenian Tari Topeng dikatakan
sangatlah subur di Majapahit, bahkan dalam kitab Negara kertagama, Raja Hayam
Wuruk digambarkan mahir menarikan topeng dan karaket.
Adapun bukti bahwa kesenian topeng
Bali sangat terkait dengan kesenian Majapahit adalah adanya peninggalan 22 buah
topeng yang tersimpan di Pura Dalem Penataran Topeng.
Dari kesemua topeng itu, ada delapan
topeng yang berasal dari Jawa yang masing-masing diberi nama Hayam Wuruk, Gajah
Mada, Papak Mada, I Gusti Penatih, Sri Aji Wengker, Dalaem Juru, Sri Bima Cili,
Danghyang Kepakisan dan Arya Semaranata.
Ketika merujuk pada Babad Dalem,
topeng-topeng yang ada di Bali tersebut dahulunya adalah salah satu hasil
rampasan dari peperangan antara Gelgel dan Blambangan.
Disebutkan bahwa perang tersebut
diawali penolakan Dalem Juru (raja Blambangan) terhadap Dalem Watu Renggong
yang ingin melamar putrinya yang bernama I Dewa Ayu Nibas. Sayangnya seranganpertama yang dipimpin oleh I Gusti Jelantik Tengahan mengalami kegagalan.
Kemudian diutuslah Ngurah Jelantik
Wajahan untuk melakukan perampasan yang digunakan sebagai bukti bahwa ia telah
menaklukkan Blambangan. Semua barang rampasan termasuk satu peti berisi topeng
diserahkan kepada raja Klungkung Dalem Watu Renggong (1460-1550).
Singkat cerita, seiring dengan
konflik politik yang melanda kerajaan Gelgel, topeng-topeng pada akhirnya
dipindahkan ke Desa Blahbatuh pada kisaran tahun 1879 yang hingga kini
dikeramatkan di Pura Penataran Topeng.
Drama Tari
Topeng Pajegan
Pajegan dalam bahasa Bali berasal
dari kata “pajeg” yang ditambah dengan sufik “an” yang bisa diartikan sebagai
borongan. Topeng Pajegan berarti ditarikan oleh seorang penari topeng yang
memborong banyak topeng untuk ditarikan seorang diri.
Drama Tari Topeng Pajegan dikatakan
sebagai perkembangan dari kesenian topeng pada kerajaan Gelgel. Konon I Gusti
Pering Jelantik membawakan dramatari seorang diri di puri Gelgel dengan
menggunakan topeng-topeng hasil rampasan leluhurnya.
Setelah pementasan tari topeng
tersebut, penampilan Topeng Pajegan kemudian menjadi tradisi di tengah-tengah
masyarakat Bali, terutama pada saat ritual keagamaan.
Drama Tari Topeng Pajegan biasanya
dimulai dengan tampilnya dua figur topeng pangelembar secara berurutan. Tokoh
pertama berkarakter keras, bertopeng merah dengan mata melotot berkumis tebal.
Tokoh ini menghadirkan gerakan yang
tangkas, gagah penuh wibawa. Sementara tokoh kedua berkarakter tua renta dengan
rambut, alis dan kumis yang memutih. Gerakannya lambat namun sorot matanya
arif.
Selanjutnya hadir tokoh penasar
dengan tapel setengah terbuka pada mulut dan matanya. Penasar bertindak sebagai
narator, komentator, penterjemah sekaligus pelawak.
Disinilah aspek dramatik Topeng
Pajegan mulai terlihat, ketika penari mulai menampilkan topeng berwatak tampan,
gerakannya alus penuh perhitungan, inilah topeng dalem atau sering disebut
arsawijaya.
Topeng selanjutnya adalah tokoh
antagonis berwajah ganas dengan gerakan yang kasar. Adapun menjelang klimaks
cerita, akan dihadirkan tokoh-tokoh rakyat jelata dengan ekspresi wajah dan
gerakan yang lucu.
Penampilan tokoh ini umumnya masih
berkaitan dengan cerita, namun tidak jarang juga menyimpang dan cenderung
menyajikan banyolan.
Drama Tari Topeng Pajegan umumnya
akan diakhiri dengan pementasan Topeng Sidakarya berwarna putih, mata sipit,
mulut terbuka serta lengkap dengan dua taring atas.
Figur tersebut menampilkan sepak
terjang yang menakutkan, mengancam dan menerjang kiri kanan dengan mendenguskan
mantra-mantra suci dari mulutnya. Sembari mengibaskan selembar kain putih,
kedua tangannya meragakan gerak-gerak mudra pendeta.
Pada akhirnya, canang sari yang berisi
beras kuning dan segenggam pis bolong kemudian ditebar ke segala penjuru.
Sering juga seorang anak ditangkap dan kemudian dilepaskan oleh tokoh ini
setelah diberi hadiah sekedarnya.
Dipercaya tokoh Sidakarya adalah
simbol dari Wisnu Murti yang memberi anugrah dan atau legitimasi sebuah
upacara. Kepercayaan dan justifikasi itulah yang menyangga keberadaan Topeng
Pajegan.
Drama Tari
Topeng Panca
Topeng Panca adalah perkembangan
dari Topeng Pajegan yang diduga muncul pertama kali di Denpasar pada tahun
1915. Kemudian berkembang pula Topeng Panca di Klungkung pada kisaran tahun
1925.
Dinamakan Topeng Panca karena
dimainkan oleh penari yang jumlahnya lima orang. Drama tari ini lebih mengarah
sebagai seni pentas non ritual.
Keberadaan Topeng Panca diduga sebagai
peningkatan fungsi kesenian topeng sehingga tidak hanya berfungsi sebagai
pelaksana ritual keagamaan, namun juga sebagai hiburan. Perkembangan ini pula
yang menjadi sarana ampuh untuk mengembangkan pendidikan spiritual bagi
masyarakat Bali.
Drama Tari
Topeng Prembon
Dramatari Prembon merupakan
penggabungan dari berbagai elemen seni Bali termasuk Arja, Gambuh, Topeng dan Bebarongan. Terlahir sekitar tahun 1942 yang diciptakan oleh seniman
dari Badung bernama I Nyoman Kaler serta dua seniman Gianyar yakni I Made
Kredek dan I Wayan Griya.
Seperti halnya Dramatari Topeng
Pajegan maupun Panca, Dramatari Prembon dibawakan oleh para penari bertopeng.
Berdialog menggunakan bahasa Bali dan bahasa Kawi dengan mengambil cerita dari
Babad Bali atau sejarah lainnya.
Tokoh-tokoh yang ada dalam Prembon
juga masih melibatkan Penggelembar jenis topeng Tua dan Keras, Ratu seperti tokoh
Dalem dan pepatih, Panasar untuk tokoh Kelihan dan Cenikan, serta Bondres untuk
rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar